Di zaman modern seperti sekarang ini tentu pemanfaatan ilmu menjadi suatu keniscayaan meskipun demikian bila tidak dilandasi oleh nilai-nilai spiritual maka tidak akan ada arah dan berfaedah.
Itulah salah satu kesimpulan dari kuliah umum Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Islam Sultan Agung Semarang (Unnisula) drg. Suryono, SH, MM.DDS, P.hD di Auditorium Universitas Baiturrahmah Padang, Sabtu 5 Oktober 2019.
Dalam kuliah yang dihadiri semua mahasiswa baru Unbrah 2019 dan angkatan 2018, drg. Suryono fokus menyampaikan tentang upaya menumbuhkan sikap positif, sehat dan baik. Kepribadian ini digunakan sebagai benteng untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0.
Menurut drg. Suryono istilah kata sehat yang ada di dalam UU seperti Kemenkes dan WHO memiliki unsur fisik, jiwa dan sosial. Akan tetapi bila ditilik lebih jauh ada kekurangannya yakni tidak ada yang menjadi sandarannya. Untuk itu dalam bukunya Pengantar Kedokteran Gigi Islam, Unnisula Press tahun 2016, terdapat kajian kesehatan menurut Islam.
Artinya unsur fisik, jiwa dan sosial bersandar pada nilai spiritual atau keagamaan. Dengan begitu secara keseluruhan menurut Islam sehat Merupakan sebuah kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas.
Bila dikaitkan dengan teori A. Maslow, yang membagi sebuah kebutuhan ke dalam piramida. Dengan puncaknya aktualisasi diri, dan kebutuhan terbesar manusia lebih yakni fisiologis seperti makan, minum, tidur dan pakaian. Dengan adanya aspek spirtitual tersebt dapat melandasi semua kebutuhan tersebut. Dengan kebutuhan utama berakhir Husnul Hatimah atau berakhir pada kebaikan. Dengan demikian bila ditinjau secara tingkat kesadaran kesehatan spiritual dapat dikategorikan sebuah tingkatan mulai dari keterpaksaan sebagai tingkat terendah, kewajiban, kebutuhan dan kebahagiaan.
Kebahagiaan inilah menjadi puncak dari kondisi dimana manusia dikatakan sehat. Dicontohkan sehat secara spiritual, bila melaksanakan ibadah bukan lagi sebuah keterpaksaan atau sekedar kewajiban namun sebuah kebutuhan yang menuju kebahagiaan.
Bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan dalam memaknai kesehatan spiritual tersebut yang terbanyak pada melafalkan kemudian sedikit mengartikan, memahami dan puncaknya menerapkan. Hal ini kata drg. Suryono terjadi di Indonesia, seperti banyak penghafal Al Quran namun sedikit yang mencoba memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh dalam hal memaknai maaf, kejujuran atau disiplin, Indonesia yang dominan muslim masih kalah dari Jepang yang memegang prinsip dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan ilmu Al Quran baru sebatas dilafalkan begitupun dengan peraturan baru sebatas tertulis, sedangkan penerapannya masih minim.
Untuk membuktikan hal tersebut drg. Suryono melakukan tes kepada peserta kuliah umum dengan memberikan pertanyaan yang harus dijawab jujur. Beberapa pertanyaan tersebut antara lain respon saat diajak ke masjid shalat berjamaah, diajak shalat qiyamul lail, diajak majlis dhuha dan diajak pengajian nuzulul quran. Dari tingkatan kesadaran kesehatan spiritual, peserta sebagian besar menjawab karena keterpaksaan dan kewajiban.
Dengan begitu menandakan ibadah belumlah menjadi sebuah kebutuhan bahkan kebahagiaan. Kuncinya yakni ikhlas dan selalu mengembalikan semuanya kepada Allah. Intinya selalu bersyukur dan yakin dengan pasti bahwa Allah SWT merupakan sumber segala sumber.
Bila ibadah sudah menjadi sebuah kebutuhan menuju kebahagiaan maka kehidupan di dunia jelas dapat dikatakan baik. Secara ringkas drg. Suryono menyebut “Do IT”. Do berarti doa sedangkan I adalah Ikhtiar dan T merupakan tawakkal.
“Hidup adalah ikhlasnya suatu perjuangan, jatuh bangkit lagi, kalah ya bertanding lagi, gagal mencoba lagi. tiada kata menyerah, dan tiada kata takut,” kata Lulusan Doktor di Jepang tersebut.
“Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah maka kamu akan bahagia. Jangan menunggu dicintai baru mencintai , belajarlah mencintai baru kamu akan dicintai. Jangan menunggu sukses baru bersyukur, tapi bersyukurlah maka kamu akan ditambah kesuksesannya” kata drg Suryono yang menekankan untuk menghindari istilah “menunggu” dalam hidup.
Kemudian kata mutiara lain yang diungkapkan sarjana Kedokteran Gigi UGM tersebut yakni selalu berpikir positif. “Tak ada hari yang menyulitkan kita, kecuali diri kita sendiri yang membuat sulit. Bukan karena semua baik kita tersenyum, tapi karena senyum menjadi baik”.
Ujung dari kesemuanya yakni introspeksi atau mawas diri, yakin bahwa semua yang ada di dunia termasuk diri sendiri merupakan milik Allah SWT jadi tidak ada yang perlu disombongkan.
Sedangkan mengenai persiapan Revolusi Industri 4.0, drg. Suryono menekankan prinsip kesadaran kesehatan spiritual tersebut ke dalam kajian ilmu dan perkembangan teknologi. Istilahnya cara mengislamkan kelilmuan, dengan mengaitkans setiap perkembangan teori dan teknologi menjadi sebuah ibadah yang bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain dan keridhaan Allah SWT. Meskipun demikian sebagai manusia berpengetahuan modern tetap harus menjaga sikap cerdas yakni kreatif, inovatif, cepat, dan tepat.
Bahkan drg. Suryono membagikan tipsnya dalam mengelola sebuah ilmu pengetahuan yakni mencermati, meniru, menambah kemudian mempromosikan atau menyampaikan dengan landasannya semuanya menjadi ibadah.
Dalam kuliah tersebut drg. Suryono juge berdialog interaktif dengan peserta seminar dan ikut membagikan buku kepada peserta yang bertanya.
Rektor Unbrah Prof. Dr. Ir. Musliar Kasim, M.S mengapresiasi kuliah drg. Suryono yang dinilai akan memberikan tambahan ilmu dan pengetahuan kepada peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa dan dosen.
Di akhir acara rektor memberikan plakat dan sertifikat kepada drg. Suryono yang ditutup dengan sesi foto bersama.